Minggu, 27 Januari 2019

[30 HARI BERCERITA] DAY 2 - THE STORY OF MY HABLUM MINALLAH and COLLEGE LIFE

-Entahlah, aku yang terlalu malas, terlalu banyak distraksi, atau memang  terlalu jumawa-

Salam...hahaha

Assalamualaikum wr. wb.

Bagaimana kabar kehidupan kalian semua?
.

Bukan, bukan tentang kuantitasnya. Bukan tentang berapa kenaikan saku atau gajimu, bukan pula tentang kenaikan pangkat, atau mungkin, kenaikan tarif.... 
.
tarif tiket kereta maksudnya.
.

Aku bertanya tentang kualitas hidupmu.
.
Ahhh, bukan juga tentang kualitas berkeluargamu, bukan pula tentang kualitas gaya hidup seperti rendahnya kolesterolmu (berkebalikan denganku) haha
.
Ini lebih ke, kualitas hubungan, dengan Tuhan.
.

Mengapa?
.

Suatu waktu, anggap saja kemarin, aku bertanya pada diriku sendiri, Juga yang pada akhirnya aku jawab jawab sendiri, bersama sebuah alter ego penuh keberanian yang ingin kubentuk. Ahh, susah -__-. Aku bertanya, apa yang mempersulit diriku untuk segera menyelesaikan tugas akhir?
.

Kala itu, di sepertiga malam terakhir -atau mungkin tengah malam, aku lupa- aku mengeluh. Kurasakan itu menjadi salah satu titik terendah dalam diriku mengenai perkuliahan, selama aku studi disini. Aku, kurasakan aku jarang mengeluh atas perkuliahanku. Kalau nangis pas mau KHS an sih pernah. Tapi mengeluh, sungguh jarang. Mengeluhkan dosen, mungkin ada bisa dihitung jari. Aku sepasrah -yet, tidak pasrah pasrah amat sama kuliah- itu. 
.

Malam itu semua berkecamuk. Saling salah padahal kami menyepakati bahwa kami salah. Aku memang tidak mendamba lulus begitu mantab, tujuh semester, tujuh angka keberuntungan. Tidak. Tapi yang kuingin adalah aku lulus tujuh, wisuda delapan. Aku belum ingin kehilangan status mahasiswa terlalu dini. Aku tidak mau kehilangan gratisnya biaya kesehatan di PLK, aku belum ingin berpisah dengan Cybercampus, kehilangan akses Remotexs akan juta jurnal padahal aku pun tidak suka baca jurnal, dan yang utama, ada satu impian yang belum tercapai disini. Tolong, sebentar untuk mengaminkan doa yang saya bathinkan saat menulis ini.
.

Kurasa ini karena aku terlalu terlena. Terlalu merasa santai karena selama enam semester aku merasa aku mampu. Mengambil sks full setiap semester demi semester tujuh yang tanpa teori. Semester yang kuingat adalah semester dua, aku menagis atas tingginya jurang antara indeks prestasi semester satu dan dua, dan yah mungkin Tuhan pun kasihan pada kami, hingga ternyata nilai mata kuliah pun diganti dan indeks kembali membaik. Pun setelah itu, aku menangis demi indeks prestasi di setiap semesternya. Aku hamba IPK? Bukan ahahaha. 
.

IPK adalah capaian yang paling dinanti orang tuaku.
.

Dengan pikiran sepauh dewasa separuh ABGku, aku hanya bisa memberi kebahagiaan ke orang tua dengan indeks prestasi. Sebuah ironi yang baru kusadari semester ini. Hujat saja, tidak apa hahaha. Mengapa seperti itu? ah, klise. Alasan klise seorang bungsu. Bungsu pun ingin segera dan selalu membahagiakan orang tua, bukan hanya si sulung. Aku melihat kedua orang tuaku berkaca-kaca melihat indeksku, dengan semangat membelikan martabak dan terang bulan kesukaan, selama liburan pun tidak pernahku dimarahi hahaha. Lalu? Apakah aku mengejar IPK baik demi kebahagiaanku, tidak. 
.

Hanya indeks prestasi yang bisa kuusahakan. Meskipun, harus ditukar dengan kualitas tubuh yang terus menurun. Ya bagaimana....
.

Apa yang bisa kuberikan ke orang tuaku? Memberi uang untuk ekspansi lahan? abangku sudah, aku ya belum. Makan aja masih minta orang tua. Memberikan sebaris panjang sertifikat kepanitiaan dan organisai? bukan juga. Satu yang bisa kuperjuangkan adalah indeks, hanya untuk membuat mereka bahagia.
.

Kalau kamu tanya, apa aku peduli IPK? halah. Ketika orang saling adu tentang penting tidaknya IPK, aku hanya tertawa. Semua sudah ada garisnya, Kalau garismu bukan di IPK, ya cari garis yang lainnya. Aku lebih peduli tata adab, itu diatas segalanya.
.

Malam itu, dihadapanku, seolah cybercampus terbuka. Menampilan nilai yang seperti golongan darah. Aku bersyukur, sedetik kemudian aku menangis. Harusnya aku bisa, selama delapan bulan menganggur (Juli hingga Desember) menyelesaian enam SKS ini. Sembilan, ditambah seminar yang cuma tiga SKS. Ya Allah, enam bulan cuman selesai 3 SKS.
.

Harapanku yang terbesar sejak semester tiga adalah menyelesaikan tugas akhir di tujuh semester, semester delapan mencari kehidupan lain, dan kembali ke kampus sekedar untuk seremonial memakai toga. Ternyata, rencana bertolak. Hhahaha.
.

Sampai sini pasti udah banyak hujatan aku tidak bersyukur.
.

Tapi kawan, sebagai manusia biasa aku juga pengen nggrundel atas diriku sendiri. Malam itu segala-gala aku persalahkan pada diriku. Hujatan terbesarku atas kesalahan lambatnya tugas akhir adalah pada, ketidakmampuan memenuhi harapan oang rumah untuk segera sidang, hahaha. Hingga suatu hantaman menghampiriku, secara tidak kasat, bahwa semua berasal dari ini.
.

Aku kembali menjauh dari Tuhan.
.
Aku tidak lagi menyegerakan ibadah.
.
Berminggu-minggu tidak menyentuh kitab. Cuman mendengarkan dari situs video, sudah.
.
Dan pula, mungkin kadar maksiat (tidak bisa terdefinisikan maksiat yang mana) yang semakin tinggi.
.
Sudah susah bangun malam karena tidur dini hari.
.
Terlalu dalam mengartikan cinta juga, mungkin?
.

Intinya, aku tidak sebaik semester dulu ritme ibadahnya. Terlalu menyepelekan, tidak menyegerakan. Padahal penciptaanku, yang alhamdulillah masih manusia (walau di circleku, sebut saja di Keluarga Mbah Dinda, saya sebagai Jihan, seorang kucing) hingga saat ini adalah untuk beribadah. Adz-Zariyat 56: 
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaku.
Kusadar benar hal itu. Pada kesimpulan pergolakan malam itu, aku terlalu jauh dari Tuhan. Aku sadari benar bahwa awal perkuliahan itu, aku lebih dekat. Aku menjadi bagian unit kegiatan mahasiswa yang religius, dikelilingi lingkungan dengan senior yang begitu dalam mengajarkan hal hal agamis lainnya. Aku diliputi keberkahan bersama mereka, yang secara tidak sadar meningkatkan kualitas ibadah dengan Tuhan.
.

Dan Tuhanku, Allah, menggantinya dengan sebuah pencapaian yang menyenangkan semua pihak, yang paling utama adalah, kedua orang tua.
.

Muara dari kecamuk malam itu, keputusan untuk kembali. Sekuat tenaga membangun kembali keberkahan itu. Dan juga, keputusan untuk mengakhiri penyesalan atas keterlambatan studi. Yakin, Allah telah memberikan rencana yang lebih baik dari yang aku rencanakan. InsyaAllah. Kembali pada Tuhan, mensyukuri semua yang telah terjadi dan yang telah diberikan, mendekatkan kembali diri ini, yang terlalu jauh melangkah, menyikapi dengan salah hal hal duniawi, dan juga cinta.
.

Dan, mari kembali mengerjakan skripsi. 
.

Wassalamualaikum, wr wb

0 komentar:

Posting Komentar